Minggu, 29 Maret 2015

PENDIDIKAN NILAI (Membumikan Pendidikan Nilai)



BAB I
PENDAHULUAN

1.   DEFINISI PENDIDIKAN
Menurut M.J. Langeveld pendidikan adalah memberi pertolongan  secara sadar dan sengaja kepada seorang anak (yang belum dewasa) dalam pertumbuhannya menuju kearah kedewasaan, dalam arti dapat berdiri dan bertanggung jawab susila atas segala tindakan-tindakannya menurut pilihannya sendiri. Ki Hajar Dewantoro mengatakan bahwa moral (kekuatan batin, karakter), fikiran (intellect) dan tumbuh anak yang antara satu dan lainnya saling berhubungan agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras.
Pendidikan sebagai panglima
Secara filosofi Socrates menegaskan bahwa pendidikan merupakan proses pengembangan manusia kea rah kearifan (wisdom), pengetahuan (knowledge), dan etika (conduct). Oleh karenanya membangun aspek kognisi, afeksi dan psikomotor secara seimbang dan berkesinambungan adalah nilai pendidikan yang paling tinggi.
Di Indonesia, jauh sebelum Bung Karno menggagas konsep kemerdekaan Indonesia, elemen bangsa yang berbasis pendidikan seperti R.A. Kartini, HOS Cokroaminoto, Dr Soetomo, Cipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara sudah memikirkan bangsa ini lewat pendidikan. Tak lama berselang giliran K.H.A Dahlan mendirikan Organisasi sosial dan kependidikan dengan nama Muhammadiyah. Lewat satu dekade berikutnya K.H. Hasyim Asy’ari ikut mencerdaskan bangsa dengan NU-nya. Semua bermuara pada pendidikan. Hasilnya sungguh ajaib, semua orang terdidik mulai memikirkan nasib bangsa dan berusaha lepas dari penjajahan. Dan Indonesia merdeka.
Jika menengok data dan fakta sejarah, agenda kebangkitan nasional saat ini terletak pada pendidikan. Mengapa? Karena seluruh sektor kehidupan bangsa merupakan concern sumber daya manusia (human resource) yang dihasilkan dari output dunia pendidikan.

2.   DEFINISI NILAI
Secara garis besar nilai dibagi dalam dua kelompok yaitu nilai-nilai nurani (values of being) dan nilai-nilai member (values of giving). Nilai-nilai nurani adalah nilai yang ada dalam diri manusia kemudian berkembang menjadi perilaku serta cara kita memperlakukan orang lain. Yang termasuk dalam nilai-nilai nurani adalah kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri, potensi, disiplin, tahu batas, kemurnian, dan kesesuaian. Nilai-nilai memberi adalah nilai yang perlu dipraktikan atau diberikan yang kemudian akan diterima sebanyak yang diberikan. Yang termasuk pada kelompok nilai-nilai memberi adalah setia, dapat dipercaya, hormat, cinta, kasih sayang, peka, tidak egois, baik hati, ramah, adil, dan murah hati (Linda, 1995). Nilai-nilai itu semua telah diajarkan pada anak-anak di sekolah dasar sebab nilai-nilai tersebut menjadi pokok-pokok bahasan dalam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Jadi, sebenarnya perilaku-perilaku yang diinginkan dan dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari generasi muda bangsa ini telah cukup tertampung dalam pokok-pokok bahasan dalam pendidikan nilai yang sekarang berlangsung. Persoalannya ialah bagaimana cara mengajarkannya agar mereka terbiasa berprilaku sesuai dengan nilai-nilai dimaksud.

Interpretasi nilai moral
Proses pokok yang sekarng sedang berjalan dimuka bumi ini ialaih penyempurnaan Nilai moral Manusia itu? Bukankah semua metode dan sistem Efisiensi itu harus didasarkan kepada Nilai moral Manusia, dan bukan hanya kepada Pengetahuan dan Perindustrian semata-mata?



3.   PENGERTIAN PENDIDIKAN NILAI
Dalam ranah ilmu pengetahuan disebutkan bahwa pengetahuan haruslah mengandung tiga dimensi filosofis yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi berkaitan dengan hakikat pengetahuan sedang epistemologi menyinggung sumber pengetahuan dan aksiologi kebagian tugas menilai apa manfaat pengetahuan itu bagi kehidupan. Yang terakhir inilah kajian pendidikan nilai. Meneliti, menelaah dan menemukan kaidah kebermanfaatan ilmu pengetahuan bagi umat manusia. Dalam kanal pendidikan, istilah pendidikan nilai mengacu pada aksiologi pendidikan, sejauh mana pendidikan itu memunculkan dan menerapkan nilai/moral kepada peserta didik (Kosasih Jahiri, modul perkuliahan Pendidikan Nilai UPI).
Menurut Mardimadja (1986) mendefinisikan pendidikan nilai sebagai bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya.

a.    Orientasi Pendidikan Nilai
Konsep awal Pendidikan Nilai adalah komponen yang menyentuh filosofi tujuan pendidikan yaitu memanusiakan manusia, membangun manusia paripura dan membentuk insan kamil atau manusia seutuhnya.

b.   Filosofi Pendidikan Nilai
Pendidikan merupakan sebuah tindakan fundamental, yaitu perbuatan yang menyentuh akar-akar hidup kita sehingga mengubah dan menentukan hidup manusia. Kesejahteraan suatu bangsa amat bergantung pada tingkat pendidikannya. Pendeknya, pendidikan itu memanusiakan manusia muda. Pendidikan nilai adalah bentuk hidup bersama yang membawa manusia muda ke tingkat manusia purnawan.

c.    Aspek Ontologis Epistemologis dan Aksiologis Pendidikan Nilai
1.    Dasar ontologism Pendidikan Nilai
2.    Dasar epistemologis Pendidikan Nilai
3.    Dasar aksiologis Pendidikan Nilai

d.    Aspek-aspek kemanusiaan
Howard Garder (1983) menelaah manusia dari sudut kehidupan mentalnya khususnya aktivitas inteligensia (kecerdasan). Menurut dia, paling tidak manusia memiliki 7 macam kecerdasan yaitu:
1.    Kecerdasan matematis/logis: yaitu kemampuan penalaran ilmiah, penalaran induktif/deduktif, berhitung/angka dan pola-pola abstrak.
2.    Kecerdasan verbal/bahasa: yaitu kemampuan yang berhubungan dengan kata/bahasa tulis maupun lisan. (sebagai materi pelajaran di sekolah berhubungan dengan kecerdasan ini)
3.    Kecerdasan interpersonal: yaitu kemampuan yang berhubungan dengan keterampilan berelasi dengan orang lain, berkomunikasi antar pribadi.
4.    Kecerdasan fisik/gerak/badan: yaitu kemampuan mengatur gerak badan, memahami sesuatu berdasar gerakan.
5.    Kecerdasan musikal/ritme: yaitu kemampuan penalaran berdasarkan pola nada atau ritme. Kepekaan akan suatu nada atau ritme.
6.    Kecerdasan visual/ruang/spasial: yaitu kemampuan yang mengandalkan penglihatan dan kemamupuan mebayangkan obyek. Kemampuan menciptakan gambaran mental.
7.    Kecerdasan intrapersonal: yaitu kemampuan yang berhubungan dengan kesadaran kebatinannya seperti refleksi diri, kesadaran akan hal-hal rohani.

e.    Pendidikan Nilai dan Filsafat Etika
Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu. Bagi ahli filsafah, etika dalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, prilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental: bagaimana saya harus hidup dan bertindak? Peter Singer, filsuf kontemporer dari Australia menilai kata etika dan dan moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-buku nya ia menggunakan keduanya secara tertukar-tukar.

f.     Jenjang perkembangan ajaran moral
Etika, seperti halnya pendidikan juga mempunyai embrio yang bisa berkembang seperti berikut:
1.    Ajaran moral: Ajaran tentang bagaimana manusia harus hidup dan berbuat agar menjadi manusia yang baik.
2.    Moral: sistem nilai atau consensus sosial tentang motivasi, prilaku dan perbuatan tertentu dinilai baik atau buruk.
3.    Falsafah moral: falsafah atau penalaran moral yang menjelaskan mengapa perbuatan tertentu dinilai baik, sedangkan perbuatan lain buruk.
4.    Falsafah moral menghasilkan teori-teori etika.
5.    Teori-teori etika: kerangka untuk berfikir tentang apakah suatu perbuatan dapat diterima dinilai dari pendekatan moral. Dua teori etika klasik yang paling terkenal adalah Utilitiarisme dan Deontologi. Teori utilitiarisme menilai baik-buruknya suatu tindakan dari hasil atau dampak tindakan itu. Jika hasilnya baik (the greatest good for the greatest number), secara moral tindakan itu adalah baik. Teori Deontologi berkata lain; lakukan kewajiban (Deon=Kewajiban), jangan lihat hasil atau dampaknya.
6.    Asas-asas etika: penerapan teori-teori etika dalam praktek. Dua asas etika klasik adalah beneficence (kewajiban untuk berbuat baik) dan norma leficence (kewajiban untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan orang lain). Dua asas etika kontemporer adalah menghormati manusia (respect for reason) dan keadilan (justice).



BAB II
PARADIGMA, SIKAP DAN NILAI
Dalam dunia realita manusia seringkali terjebak oleh prilakunya sendiri. Ada kalanya orang berpikir (berparadigma) dahulu baru bertindak (mengambil sikap). Atau sebaliknya, orang cenderung mengambil tindakan (bersikap) setelah itu baru berpikir (berparadigma). Pada kasus pertama, juga dapat disebut paradigma melahirkan sikap dan pada kasus kedua sikap-lah yang melahirkan paradigma. Apapun yang terjadi mereka bisa berubah setelah melihat nilai (dampak) yang dihasilkan.

1.   DEFINISI PARADIGMA
Istilah paradigma pertama kali diperankan oleh Thomas Kuhn (1962). Paradigma dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual atau model yang dengannya seorang ilmuwan bekerja (a conceptual framework or model within which a scientist works). Ia adalah seperangkat asumsi-asumsi dasar yang menggariskan semesta praktikular dari penemuan ilmiah, menspesifikasi beragam konsep-konsep yang dapat dianggap abash maupun metode-metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan dan menginterpretasikan data. Tegasnya, setiap keputusan apa yang menyusun data atau observasi ilmiah dibuat dalam bangun suatu paradigma. (Kuntowijoyo)

a.    Paradigma membentuk sikap
Keterangan diatas mempertegas bahwa paradigma seseorang akan mempengaruhi wordview-nya (pandangan nilai, sikap dan perilaku) terhadap orang yang berada di luar lingkarannya.

b.   Paradigma Paolo Freire dalam Pendidikan
Paolo Freire menggagas adanya concientizacao (kesadaran untuk melakukan). Concientizacao adalah kesadaran untuk melakukan pembelaan kemanusiaan . Dapat memberantas buta huruf di kalangan orang dewasa misalnya, dimaknai sebagai usaha membebaskan manusia dari untaian rantai belenggu kebodohan.

c.    Paradigma UNESCO dalam Pendidikan
UNESCO merekomendasikan pembaharuan pendidikan dan pembelajaran pada lima konsep pokok paradigma pembelajaran dan pendidikan, yang dapat diterangkan sebagai berikut:
a.    Learning to know
b.    Learning to do
c.    Learning to live together
d.    Learning to be
e.    Learning throughout life

2.   PARADIGMA DALAM PENDIDIKAN NILAI
Dalam ranah pendidikan nilai, seorang pendidik tidak hanya efektif dalam kegiatan belajar mengajar di kelas saja (transfer of knowledge), tetapi lebih-lebih dalam relasi pribadinya dan “modeling”-nya (transfer of attitude and values), baik kepada peserta didik maupun kepada seluruh anggota komunitas sekolah. Relasi ini berkembang dengan pesat dan menghasilkan buah-buah pendidikan jika dilandasi oleh kasih sayang antar mereka. Pribadi-pribadi hanya berkembang secara optimal dan relatif tanpa hambatan jika berada dalam suasana yang penuh cinta (understanding love), hati yang penuh pengertian (understanding heart) serta relasi pribadi yang efektif (personal relationship). Sikap seperti inilah yang ingin dilahirkan pendidikan nilai.

3.   SIKAP MELAHIRKAN NILAI
a.    Definisi sikap
Secord and Bacman (1964) membagi sikap menjadi tiga komponen yang dijelaskan sebagai berikut:
a)    Komponen kognitif, adalah komponen yang terdiri dari pengetahuan. Pengetahuan inilah yang akan membentuk keyakinan dan pendapat tertentu tentang objek sikap.
b)   Komponen afektif, adalah komponen yang berhubungannya dengan perasaan senang atau tidak senang, sehingga bersifat evaluatef. Komponen ini erat hubungannya dengan sistem nilai yang dianut pemilik sikap.
c)    Komponen konatif, adalah komponen sikap yang berupa kesiapan seseorang untuk berprilaku yang berhubungan dengan objek sikap.
b.    Pembentukan sikap
a)    Pengalaman pribadi
b)   Pengaruh orang lain yang dianggap penting
c)    Pengaruh kebudayaan
d)    Media massa
e)    Lembaga pendidikan dan lembaga agama
f)     Faktor emosional


BAB III
MEMBUMIKAN PENDIDIKAN NILAI

1.   MEMBANGUN MANUSIA DENGAN MEMANUSIAKAN MANUSIA
Ada ahli bahasa terperosok ke dalam sebuah sumur kering. Ia tak bisa naik. Lalu lewatlah seorang pemuda di sumur tersebut. Ketika tampak olehnya pemuda melongok ke bawah, ia berteriak minta tolong. “Tolonglah, keluarkan aku dari sini. “Oke,” jawab pemuda itu. Ternyat ia seorang pengembara yang bermaksud mencari air minum. “Tunggulah sebentar, aku cari tali dan tangga,” kata pemuda lagi “Huss, logika bahasamu salah,”teriak si ahli bahasa. “Seharusnya kau bilang tangga, baru kemudian tali,”katanya.
     Pengembara itu yang biasa berfikir tentang hakikat, tertegun sejenak. Ia menyadari betapa tak mudah berurusan dengan orang yang bisa cerewet mengenai persoalan “kulit” dan abai terhadp perkara “isi”. Tapi kemudian ia menyahut lagi. “Baiklah bung, kalau dalam keadaan darurat begini kau masih lebih mengutamakan kaidah bahasa ketimbang keselamatan jiwamu, tunggulah lima tahun di situ sampai saya kembali sebagai ahli bahasa.”
     Sang sufi kemudian melangkah anggun menjauhi tempat itu dan tinggallah ahli bahasa kita, termenung-menung menyesali orientasinya yang sering kelewat teknis dalam menghadapi persoalan hidup yang kompleks dan warna-warni itu. Boleh jadi, ahli bahasa dan pengembara dalam kisah ini tak pernah ada. Kisah ini, bisa saja hanya sebuah rekaan belaka. Tapi bahwa manusia dengan sikap dan pemikiran seperti mereka itu ada di sekitar kita, sebaiknya tak usah diragukan. (dikutip dari budayawan M. Sobari)
     Inilah gambaran pendidikan yang mengabaikan ranah afeksi pendidikan itu. Secara teoritis ilmu pendidikan sangat komplit, tetapi domain nilai dari pendidikan itu sendiri dilupakan. Oleh karena itu membumikan pendidikan nilai melalui pendekatan-pendekatan yang tepat perlu dirumuskan dan diaplikasikan, agar tidak menyesal seperti “sang ahli bahasa” di dalam sumur kering tadi.


2.   PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN NILAI
Penyajian bahan atau pokok-pokok bahasan yang diberikan kepada anak-anak usia sekolah dasar hendaknya didasarkan pada prinsip: (1) dari mudah ke sukar, (2) dari sederhana ke rumit, (3) dari yang bersifat kongkrit ke abstrak, (4) menekankan pada lingkaran kemasyarakatan yang lebih luas (Azis Wahab, 1997). Martorella dalam Djahiri (1992) mengemukakan delapan pendekatan dalam pendidikan nilai atau budi pekerti, yaitu:
(a)  Evocation, yaitu pendekatan agar peserta didik diberi kesempatan dan keleluasaan untuk secara bebas mengekspresikan respon afektifnya terhadap stimulus yang diterimanya;
(b) Inculcation, yaitu pendekatan agar peserta didik menerima stimulus yang diarahkan menuju kondisi siap;
(c)  Moral Reasoning, yaitu pendekatan agar terjadi transaksi intelektual taksonomik tinggi dalam mencari pemecahan suatu masalah;
(d)  Value Clarification, yaitu pendekatan melalui stimulus terarah agar siswa diajak mencari kejelasan isi pesan keharusan nilai moral;
(e)  Value analysis, yaitu pendekatan agar siswa dirangsang untuk melakukan analisis nilai moral;
(f)   Moral awareness, yaitu pendekatan agar siswa menerima stimulus dan dibangkitkan kesadarannya akan nilai tertentu;
(g)  Commitment Approach, yaitu pendekatan agar siswa sejak awal diajak menyepakati adanya suatu pola pikir dalam proses pendidikan nilai;
(h)  Union Approach, yaitu pendekatan agar peserta didik diarahkan untuk melaksanakan secara riil dalam suatu kehidupan.





BAB IV
SENTRAL PENDIDIKAN NILAI ADALAH KELUARGA

1.   MENUJU KELUARGA SEJAHTERA, MEMBANGUN MASYARAKAT IDEAL
Keluarga adlah satu-satunya sistim sosial yang diterima di semua masyarakat, baik yang agamis maupun yang nonagamis. Ia memiliki peran, posisi dan kedudukan yang brmacam-macam di tengah masyarakat yang bermacam-macam pula. Sebagai lembaga terkecil dalam masyarakat, keluarga memegang peran yang sangat luas dalam kehidupan sosial umat manusia. Sesungguhnya dapat dikatakan bahwa keluarga adalah tahap pertama lembaga-lemaga penting sosial, dan dalam tingkat yang sangat tinggi, ia berkaitan erat dengan kelahiran peradaban, transformasi warisan, dan pertumbuhan serta perkembangan umat manusia. Secara keseluruhan, semua tradisi, keyakinan, sopan santun, sifat-sifat individu dan sosial, ditransfer lewat keluarga kepada generasi-generasi berikutnya.

2.   LINGKUNGAN PENDIDIKAN NILAI DALAM KELUARGA
Seperti halnya sekolah, keluarga memiliki arti penting bagi perkembangan nilai kehidupan pada anak. Namun, denga segala kekhasannya keluarga memiliki corak pendidikan yang berbeda dari sekolah. Di dalam keluarga, pendidikan berjalan bukan atas dasar tatanan ketentuan yang diformalkan, melainkan tumbuh dari kesadaran moral sejati antar orang tua dan anak. Karena itu dapat dikatakan bahwa pendidikan nilai di keluarga dibangun bukan atas dasar rasional, melainkan beralas sumbu pada ikatan emosional kodrati. Cirri-ciri ini sekaligus dapat menjadi petunjuk andanya perbedaan insensitas Pendidikan Nilai antara yang  dilakukan orang tua kepada anaknya dengan dilakukan oleh orang tua kepada anaknya dengan dilakukan oleh guru kepada siswanya.



3.   PEMBENTUKAN INDIVIDU BARU MELALUI KELUARGA
Berbeda dari makhluk hidup lainnya, ketika dilahirkan manusia baru (newborn body) merupakan makhluk yang tidak berdaya, dan amat sangat tergantung (dependence) pada pengasuhnya dalam hal ini pada ibunya. Menurut Neuman (1990) hubungan ibu-anak bahkan sudah dimulai sejak dalam kandungan (intra-uterine) yakni pada masa uroboric dimana terjadi kesatuan (unity) antara diri (the self), ego dan kebenaran (ruh Tuhan, the light). Pada masa uroboric ini hingga individu berusia 20-22 bulan merupakan masa penting hubungan ibu-anak dan pembentukan diri individu, yang disebut Neuman sebagai primal relationship.




BAB 5
PENDIDIKAN NILAI SEBAGAI PENDIDIKAN KARAKTER

1.   FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN ANAK
Elizabeth Hurlock (1993), menjelaskan bahwa perkembangan ank depengaruhi oleh sekurang-kurangnya enam kondisi lingkungannya yaitu: hubungan antar pribadi yang menyenangkan, keadaan emosi, metode pengasuhan anak, peran dini yang diberikan kepada anak, struktur keluarga di masa kanak-kanak dan rangsangan terhadap lingkungan sekitarnya.
Enam faktor inilah yang menurut Ratna Megawangi menjadi titik pijak pembentukan karakter yang baik. Akar kata “karakter” dapat dilacak dari kata Latin “kharakter”, “kharassein”, dan “kharax”, yang maknanya “tools for marking”, “to engrave”, dan “pointed stake”. Kata ini mulai banyak digunakan (kembali) dalam bahasa Prancis “caractere” pada abad ke-14 dan kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi “character” , sebelum akhirnya menjadi bahasa Indonesia “karakter”.
Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang mebedakan seseorang daripada yang lain.

2.   PENDIDIKAN KARAKTER
Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasikan seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.

3.   EMPAT KARAKTER
Menurut Foerster ada empat cirri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normative setiap tindakan.
Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desekan serta tekanan dari pihak lain.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
a.    Pendidikan Nilai dalam Pendidikan Karakter
b.    Elemen dan Pendekatan Pendidikan Karakter



BAB VI
PENDIDIKAN NILAI SEBAGAI PENCERDASAN EMOTIONAL QUESTION (EQ) DAN SPIRITUAL QUESTION (SQ)

1.   DELAPAN KECERDASAN DI LUAR IQ MENURUT GARDNER
A.    Spasial-Visual
Berpikir dalam citra gambar. Melibatkan kemampuan untuk memahami hubungan ruang dan citra mental dan secara akurat mengerti dunia visual.
B.    Linguistik-Verbal
Berpikir dalm kata-kata. Mencakup kemahiran berbahasa untuk berbicara, menulis, membaca, menghubungkan, dan menafsirkan.
C.    Interpersonal
Berpikir lewat komunikasi dengan orang lain. Ini mengacu kepada keterampilan manusia, dapat dengan mudah membaca situasi, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan orang lain.
D.   Musikal-Ritmik
Berpikir dalam irama dan melodi.
E.    Naturalis
Berpikir dalam acuan alam. Merupakan klasifikasi Garder mengenai pemetaan kecerdasan dari beberapa konsep multidimensi kecerdasan atau kecerdasan berganda.
F.    Badan-Kinestik
Berpikir melalui sensasi dan gerakan fisik. Merupakan kemampuan untuk mengendalikan dan menggunakan fisik dengan mudah dan cekatan.
G.   Intrapersonal
Berpikir secara reflektif. Ini mengacu pada kesadaran reflektif mengenai perasaan dan proses pemikiran diri sendiri.
H.   Logis-Matematis
Berpikir dengan penalaran. Melibatkan pemecahan masalah secara logis dan ilmiah dan kemampuan matematis.

2.   KECERDASAN EMOSIONAL
a.    Komponen-Komponen Kecerdasan Emosional
(1)  Mengenali Emosi Sendiri
(2)  Mengatur Emosi
(3)  Memotivasi Diri
b.    Mengenali Emosi Orang Lain
c.    Membina hubungan dengan orang lain




BAB VII
PENDIDIKAN NILAI DALAM BINGKAI CERITA DAN KISAH

1.   KEDAHSYATAN CINTA
Tidak banyak yang tahu bahwa seorang Alexander yang agung, itu dulunya seorang yang lemah dan tidak bisa bermain pedang, lalu pertanyannya adalah: Apa yang membuat dia berubah sehingga menjadi “kapal induk” bagi kekuatan negaranya dalam menaklukan Negara lain. Jawabannya adalah cerita dan kisah.
Alexander memperoleh akses pembentukan karakter heroismenya dari kisah-kisah yang ditulis oleh Homer lewat tokoh rekaan yang bernama Achilles. Tokoh rekaan inilah yang menghantarkan seorang Alexander menjadi “The Great” (sang pembesar).
Yang menarik adalah apa yang diserap oleh Alexander bukan semata-semata agar jago main pedang. Homer mengisahkan karakter Achilles bukan hanya sebagai jagoan yang sukar dicari tandingannya. Terdapat nilai-nilai budi pekerti yang ada di dalam diri Achilles sehingga karakternya tidak rapuh atau bagai preman.
Pengenalan kisah-kisah yang baik terhadap anak didik sebenarnya sudah sangat dikenal, baik oleh orang tua maupun kelangan pendidik. Akan tetapi dalam kenyataannya, masih saja ada bolong-bolong atau bahkan terdapat keteledoran.
Padahal, bagaimanapun pembentukan karakter melalui tokoh-tokoh yang baik sangatlah penting. Dalam hal ini peran pendidikan sastra – yang masih harus terus ditingkatkan di sekolah – tak bisa ditinggalkan. Penawaran bacaan oleh pendidikan sastra di sekolah seharusnya bisa mengimbangi kekurangan dan keteledoran yang terdapat di dalam tayangan-tayangan televisi.


0 komentar:

Posting Komentar