BAB I
PENDAHULUAN
1. DEFINISI
PENDIDIKAN
Menurut
M.J. Langeveld pendidikan adalah memberi pertolongan secara sadar dan sengaja kepada seorang anak
(yang belum dewasa) dalam pertumbuhannya menuju kearah kedewasaan, dalam arti
dapat berdiri dan bertanggung jawab susila atas segala tindakan-tindakannya
menurut pilihannya sendiri. Ki Hajar Dewantoro mengatakan bahwa moral (kekuatan
batin, karakter), fikiran (intellect) dan
tumbuh anak yang antara satu dan lainnya saling berhubungan agar dapat
memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang
kita didik selaras.
Pendidikan
sebagai panglima
Secara
filosofi Socrates menegaskan bahwa pendidikan merupakan proses pengembangan
manusia kea rah kearifan (wisdom),
pengetahuan (knowledge), dan etika (conduct). Oleh karenanya membangun aspek
kognisi, afeksi dan psikomotor secara seimbang dan berkesinambungan adalah
nilai pendidikan yang paling tinggi.
Di
Indonesia, jauh sebelum Bung Karno menggagas konsep kemerdekaan Indonesia,
elemen bangsa yang berbasis pendidikan seperti R.A. Kartini, HOS Cokroaminoto,
Dr Soetomo, Cipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara sudah memikirkan bangsa
ini lewat pendidikan. Tak lama berselang giliran K.H.A Dahlan mendirikan
Organisasi sosial dan kependidikan dengan nama Muhammadiyah. Lewat satu dekade
berikutnya K.H. Hasyim Asy’ari ikut mencerdaskan bangsa dengan NU-nya. Semua
bermuara pada pendidikan. Hasilnya sungguh ajaib, semua orang terdidik mulai
memikirkan nasib bangsa dan berusaha lepas dari penjajahan. Dan Indonesia
merdeka.
Jika
menengok data dan fakta sejarah, agenda kebangkitan nasional saat ini terletak
pada pendidikan. Mengapa? Karena seluruh sektor kehidupan bangsa merupakan
concern sumber daya manusia (human resource) yang dihasilkan dari output dunia
pendidikan.
2. DEFINISI
NILAI
Secara
garis besar nilai dibagi dalam dua kelompok yaitu nilai-nilai nurani (values of being) dan nilai-nilai member
(values of giving). Nilai-nilai
nurani adalah nilai yang ada dalam diri manusia kemudian berkembang menjadi
perilaku serta cara kita memperlakukan orang lain. Yang termasuk dalam
nilai-nilai nurani adalah kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri,
potensi, disiplin, tahu batas, kemurnian, dan kesesuaian. Nilai-nilai memberi
adalah nilai yang perlu dipraktikan atau diberikan yang kemudian akan diterima
sebanyak yang diberikan. Yang termasuk pada kelompok nilai-nilai memberi adalah
setia, dapat dipercaya, hormat, cinta, kasih sayang, peka, tidak egois, baik
hati, ramah, adil, dan murah hati (Linda, 1995). Nilai-nilai itu semua telah
diajarkan pada anak-anak di sekolah dasar sebab nilai-nilai tersebut menjadi pokok-pokok
bahasan dalam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Jadi, sebenarnya
perilaku-perilaku yang diinginkan dan dimanifestasikan dalam kehidupan
sehari-hari generasi muda bangsa ini telah cukup tertampung dalam pokok-pokok
bahasan dalam pendidikan nilai yang sekarang berlangsung. Persoalannya ialah
bagaimana cara mengajarkannya agar mereka terbiasa berprilaku sesuai dengan
nilai-nilai dimaksud.
Interpretasi
nilai moral
Proses
pokok yang sekarng sedang berjalan dimuka bumi ini ialaih penyempurnaan Nilai
moral Manusia itu? Bukankah semua metode dan sistem Efisiensi itu harus
didasarkan kepada Nilai moral Manusia, dan bukan hanya kepada Pengetahuan dan
Perindustrian semata-mata?
3. PENGERTIAN
PENDIDIKAN NILAI
Dalam
ranah ilmu pengetahuan disebutkan bahwa pengetahuan haruslah mengandung tiga
dimensi filosofis yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi
berkaitan dengan hakikat pengetahuan sedang epistemologi menyinggung sumber
pengetahuan dan aksiologi kebagian tugas menilai apa manfaat pengetahuan itu
bagi kehidupan. Yang terakhir inilah kajian pendidikan nilai. Meneliti,
menelaah dan menemukan kaidah kebermanfaatan ilmu pengetahuan bagi umat
manusia. Dalam kanal pendidikan, istilah pendidikan nilai mengacu pada
aksiologi pendidikan, sejauh mana pendidikan itu memunculkan dan menerapkan
nilai/moral kepada peserta didik (Kosasih Jahiri, modul perkuliahan Pendidikan
Nilai UPI).
Menurut
Mardimadja (1986) mendefinisikan pendidikan nilai sebagai bantuan terhadap
peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya
secara integral dalam keseluruhan hidupnya.
a. Orientasi
Pendidikan Nilai
Konsep awal Pendidikan Nilai adalah
komponen yang menyentuh filosofi tujuan pendidikan yaitu memanusiakan manusia,
membangun manusia paripura dan membentuk insan kamil atau manusia seutuhnya.
b. Filosofi
Pendidikan Nilai
Pendidikan merupakan sebuah tindakan
fundamental, yaitu perbuatan yang menyentuh akar-akar hidup kita sehingga
mengubah dan menentukan hidup manusia. Kesejahteraan suatu bangsa amat bergantung
pada tingkat pendidikannya. Pendeknya, pendidikan itu memanusiakan manusia
muda. Pendidikan nilai adalah bentuk hidup bersama yang membawa manusia muda ke
tingkat manusia purnawan.
c. Aspek
Ontologis Epistemologis dan Aksiologis Pendidikan Nilai
1.
Dasar
ontologism Pendidikan Nilai
2.
Dasar
epistemologis Pendidikan Nilai
3.
Dasar
aksiologis Pendidikan Nilai
d. Aspek-aspek
kemanusiaan
Howard Garder
(1983) menelaah manusia dari sudut kehidupan mentalnya khususnya aktivitas
inteligensia (kecerdasan). Menurut dia, paling tidak manusia memiliki 7 macam
kecerdasan yaitu:
1.
Kecerdasan
matematis/logis: yaitu kemampuan penalaran ilmiah, penalaran induktif/deduktif,
berhitung/angka dan pola-pola abstrak.
2.
Kecerdasan
verbal/bahasa: yaitu kemampuan yang berhubungan dengan kata/bahasa tulis maupun
lisan. (sebagai materi pelajaran di sekolah berhubungan dengan kecerdasan ini)
3.
Kecerdasan
interpersonal: yaitu kemampuan yang berhubungan dengan keterampilan berelasi
dengan orang lain, berkomunikasi antar pribadi.
4.
Kecerdasan
fisik/gerak/badan: yaitu kemampuan mengatur gerak badan, memahami sesuatu
berdasar gerakan.
5.
Kecerdasan
musikal/ritme: yaitu kemampuan penalaran berdasarkan pola nada atau ritme.
Kepekaan akan suatu nada atau ritme.
6.
Kecerdasan
visual/ruang/spasial: yaitu kemampuan yang mengandalkan penglihatan dan
kemamupuan mebayangkan obyek. Kemampuan menciptakan gambaran mental.
7.
Kecerdasan
intrapersonal: yaitu kemampuan yang berhubungan dengan kesadaran kebatinannya
seperti refleksi diri, kesadaran akan hal-hal rohani.
e. Pendidikan
Nilai dan Filsafat Etika
Etika punya
arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda
dari istilah itu. Bagi ahli filsafah, etika dalah ilmu atau kajian formal
tentang moralitas. Moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral, dan moral
adalah sistem tentang motivasi, prilaku dan perbuatan manusia yang dianggap
baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari
orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental: bagaimana
saya harus hidup dan bertindak? Peter Singer, filsuf kontemporer dari Australia
menilai kata etika dan dan moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-buku
nya ia menggunakan keduanya secara tertukar-tukar.
f. Jenjang
perkembangan ajaran moral
Etika,
seperti halnya pendidikan juga mempunyai embrio yang bisa berkembang seperti
berikut:
1.
Ajaran
moral: Ajaran tentang bagaimana manusia harus hidup dan berbuat agar menjadi
manusia yang baik.
2.
Moral:
sistem nilai atau consensus sosial tentang motivasi, prilaku dan perbuatan
tertentu dinilai baik atau buruk.
3.
Falsafah
moral: falsafah atau penalaran moral yang menjelaskan mengapa perbuatan
tertentu dinilai baik, sedangkan perbuatan lain buruk.
4.
Falsafah
moral menghasilkan teori-teori etika.
5.
Teori-teori
etika: kerangka untuk berfikir tentang apakah suatu perbuatan dapat diterima
dinilai dari pendekatan moral. Dua teori etika klasik yang paling terkenal
adalah Utilitiarisme dan Deontologi. Teori utilitiarisme menilai
baik-buruknya suatu tindakan dari hasil atau dampak tindakan itu. Jika hasilnya
baik (the greatest good for the greatest
number), secara moral tindakan itu adalah baik. Teori Deontologi berkata
lain; lakukan kewajiban (Deon=Kewajiban), jangan lihat hasil atau dampaknya.
6.
Asas-asas
etika: penerapan teori-teori etika dalam praktek. Dua asas etika klasik adalah beneficence (kewajiban untuk berbuat
baik) dan norma leficence (kewajiban
untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan orang lain). Dua asas etika
kontemporer adalah menghormati manusia (respect
for reason) dan keadilan (justice).
BAB II
PARADIGMA,
SIKAP DAN NILAI
Dalam dunia realita manusia
seringkali terjebak oleh prilakunya sendiri. Ada kalanya orang berpikir
(berparadigma) dahulu baru bertindak (mengambil sikap). Atau sebaliknya, orang
cenderung mengambil tindakan (bersikap) setelah itu baru berpikir
(berparadigma). Pada kasus pertama, juga dapat disebut paradigma melahirkan
sikap dan pada kasus kedua sikap-lah yang melahirkan paradigma. Apapun yang
terjadi mereka bisa berubah setelah melihat nilai (dampak) yang dihasilkan.
1. DEFINISI
PARADIGMA
Istilah
paradigma pertama kali diperankan oleh Thomas Kuhn (1962). Paradigma dapat
didefinisikan sebagai kerangka konseptual atau model yang dengannya seorang
ilmuwan bekerja (a conceptual framework
or model within which a scientist works). Ia adalah seperangkat
asumsi-asumsi dasar yang menggariskan semesta praktikular dari penemuan ilmiah,
menspesifikasi beragam konsep-konsep yang dapat dianggap abash maupun
metode-metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan dan menginterpretasikan
data. Tegasnya, setiap keputusan apa yang menyusun data atau observasi ilmiah
dibuat dalam bangun suatu paradigma. (Kuntowijoyo)
a. Paradigma
membentuk sikap
Keterangan
diatas mempertegas bahwa paradigma seseorang akan mempengaruhi wordview-nya
(pandangan nilai, sikap dan perilaku) terhadap orang yang berada di luar
lingkarannya.
b. Paradigma
Paolo Freire dalam Pendidikan
Paolo
Freire menggagas adanya concientizacao (kesadaran
untuk melakukan). Concientizacao
adalah kesadaran untuk melakukan pembelaan kemanusiaan . Dapat memberantas buta
huruf di kalangan orang dewasa misalnya, dimaknai sebagai usaha membebaskan
manusia dari untaian rantai belenggu kebodohan.
c. Paradigma
UNESCO dalam Pendidikan
UNESCO
merekomendasikan pembaharuan pendidikan dan pembelajaran pada lima konsep pokok
paradigma pembelajaran dan pendidikan, yang dapat diterangkan sebagai berikut:
a.
Learning
to know
b.
Learning
to do
c.
Learning
to live together
d.
Learning
to be
e.
Learning
throughout life
2. PARADIGMA
DALAM PENDIDIKAN NILAI
Dalam ranah
pendidikan nilai, seorang pendidik tidak hanya efektif dalam kegiatan belajar
mengajar di kelas saja (transfer of
knowledge), tetapi lebih-lebih dalam relasi pribadinya dan “modeling”-nya (transfer of attitude and values), baik
kepada peserta didik maupun kepada seluruh anggota komunitas sekolah. Relasi
ini berkembang dengan pesat dan menghasilkan buah-buah pendidikan jika dilandasi
oleh kasih sayang antar mereka. Pribadi-pribadi hanya berkembang secara optimal
dan relatif tanpa hambatan jika berada dalam suasana yang penuh cinta (understanding love), hati yang penuh
pengertian (understanding heart)
serta relasi pribadi yang efektif (personal
relationship). Sikap seperti inilah yang ingin dilahirkan pendidikan nilai.
3. SIKAP
MELAHIRKAN NILAI
a.
Definisi
sikap
Secord
and Bacman (1964) membagi sikap menjadi tiga komponen yang dijelaskan sebagai
berikut:
a)
Komponen
kognitif, adalah komponen yang terdiri dari pengetahuan. Pengetahuan inilah
yang akan membentuk keyakinan dan pendapat tertentu tentang objek sikap.
b)
Komponen
afektif, adalah komponen yang berhubungannya dengan perasaan senang atau tidak
senang, sehingga bersifat evaluatef. Komponen ini erat hubungannya dengan
sistem nilai yang dianut pemilik sikap.
c)
Komponen
konatif, adalah komponen sikap yang berupa kesiapan seseorang untuk berprilaku
yang berhubungan dengan objek sikap.
b.
Pembentukan
sikap
a)
Pengalaman
pribadi
b)
Pengaruh
orang lain yang dianggap penting
c)
Pengaruh
kebudayaan
d)
Media
massa
e)
Lembaga
pendidikan dan lembaga agama
f)
Faktor
emosional
BAB III
MEMBUMIKAN PENDIDIKAN NILAI
1. MEMBANGUN
MANUSIA DENGAN MEMANUSIAKAN MANUSIA
Ada
ahli bahasa terperosok ke dalam sebuah sumur kering. Ia tak bisa naik. Lalu
lewatlah seorang pemuda di sumur tersebut. Ketika tampak olehnya pemuda
melongok ke bawah, ia berteriak minta tolong. “Tolonglah, keluarkan aku dari
sini. “Oke,” jawab pemuda itu. Ternyat ia seorang pengembara yang bermaksud
mencari air minum. “Tunggulah sebentar, aku cari tali dan tangga,” kata pemuda
lagi “Huss, logika bahasamu salah,”teriak si ahli bahasa. “Seharusnya kau
bilang tangga, baru kemudian tali,”katanya.
Pengembara itu yang biasa berfikir tentang
hakikat, tertegun sejenak. Ia menyadari betapa tak mudah berurusan dengan orang
yang bisa cerewet mengenai persoalan “kulit” dan abai terhadp perkara “isi”.
Tapi kemudian ia menyahut lagi. “Baiklah bung, kalau dalam keadaan darurat
begini kau masih lebih mengutamakan kaidah bahasa ketimbang keselamatan jiwamu,
tunggulah lima tahun di situ sampai saya kembali sebagai ahli bahasa.”
Sang sufi kemudian melangkah anggun
menjauhi tempat itu dan tinggallah ahli bahasa kita, termenung-menung menyesali
orientasinya yang sering kelewat teknis dalam menghadapi persoalan hidup yang
kompleks dan warna-warni itu. Boleh jadi, ahli bahasa dan pengembara dalam
kisah ini tak pernah ada. Kisah ini, bisa saja hanya sebuah rekaan belaka. Tapi
bahwa manusia dengan sikap dan pemikiran seperti mereka itu ada di sekitar
kita, sebaiknya tak usah diragukan. (dikutip dari budayawan M. Sobari)
Inilah gambaran pendidikan yang mengabaikan
ranah afeksi pendidikan itu. Secara teoritis ilmu pendidikan sangat komplit,
tetapi domain nilai dari pendidikan itu sendiri dilupakan. Oleh karena itu
membumikan pendidikan nilai melalui pendekatan-pendekatan yang tepat perlu
dirumuskan dan diaplikasikan, agar tidak menyesal seperti “sang ahli bahasa” di
dalam sumur kering tadi.
2. PRINSIP-PRINSIP
PEMBELAJARAN NILAI
Penyajian
bahan atau pokok-pokok bahasan yang diberikan kepada anak-anak usia sekolah
dasar hendaknya didasarkan pada prinsip: (1) dari mudah ke sukar, (2) dari
sederhana ke rumit, (3) dari yang bersifat kongkrit ke abstrak, (4) menekankan
pada lingkaran kemasyarakatan yang lebih luas (Azis Wahab, 1997). Martorella
dalam Djahiri (1992) mengemukakan delapan pendekatan dalam pendidikan nilai
atau budi pekerti, yaitu:
(a) Evocation,
yaitu pendekatan
agar peserta didik diberi kesempatan dan keleluasaan untuk secara bebas
mengekspresikan respon afektifnya terhadap stimulus yang diterimanya;
(b) Inculcation,
yaitu pendekatan
agar peserta didik menerima stimulus yang diarahkan menuju kondisi siap;
(c) Moral
Reasoning, yaitu
pendekatan agar terjadi transaksi intelektual taksonomik tinggi dalam mencari
pemecahan suatu masalah;
(d) Value
Clarification, yaitu
pendekatan melalui stimulus terarah agar siswa diajak mencari kejelasan isi
pesan keharusan nilai moral;
(e) Value
analysis, yaitu
pendekatan agar siswa dirangsang untuk melakukan analisis nilai moral;
(f)
Moral awareness, yaitu pendekatan agar siswa menerima
stimulus dan dibangkitkan kesadarannya akan nilai tertentu;
(g) Commitment
Approach, yaitu
pendekatan agar siswa sejak awal diajak menyepakati adanya suatu pola pikir
dalam proses pendidikan nilai;
(h) Union
Approach, yaitu
pendekatan agar peserta didik diarahkan untuk melaksanakan secara riil dalam
suatu kehidupan.
BAB IV
SENTRAL PENDIDIKAN NILAI ADALAH
KELUARGA
1. MENUJU
KELUARGA SEJAHTERA, MEMBANGUN MASYARAKAT IDEAL
Keluarga adlah satu-satunya sistim sosial yang diterima
di semua masyarakat, baik yang agamis maupun yang nonagamis. Ia memiliki peran,
posisi dan kedudukan yang brmacam-macam di tengah masyarakat yang
bermacam-macam pula. Sebagai lembaga terkecil dalam masyarakat, keluarga
memegang peran yang sangat luas dalam kehidupan sosial umat manusia.
Sesungguhnya dapat dikatakan bahwa keluarga adalah tahap pertama lembaga-lemaga
penting sosial, dan dalam tingkat yang sangat tinggi, ia berkaitan erat dengan
kelahiran peradaban, transformasi warisan, dan pertumbuhan serta perkembangan
umat manusia. Secara keseluruhan, semua tradisi, keyakinan, sopan santun,
sifat-sifat individu dan sosial, ditransfer lewat keluarga kepada
generasi-generasi berikutnya.
2. LINGKUNGAN
PENDIDIKAN NILAI DALAM KELUARGA
Seperti halnya sekolah, keluarga memiliki arti penting
bagi perkembangan nilai kehidupan pada anak. Namun, denga segala kekhasannya
keluarga memiliki corak pendidikan yang berbeda dari sekolah. Di dalam
keluarga, pendidikan berjalan bukan atas dasar tatanan ketentuan yang
diformalkan, melainkan tumbuh dari kesadaran moral sejati antar orang tua dan
anak. Karena itu dapat dikatakan bahwa pendidikan nilai di keluarga dibangun
bukan atas dasar rasional, melainkan beralas sumbu pada ikatan emosional
kodrati. Cirri-ciri ini sekaligus dapat menjadi petunjuk andanya perbedaan
insensitas Pendidikan Nilai antara yang
dilakukan orang tua kepada anaknya dengan dilakukan oleh orang tua
kepada anaknya dengan dilakukan oleh guru kepada siswanya.
3. PEMBENTUKAN
INDIVIDU BARU MELALUI KELUARGA
Berbeda
dari makhluk hidup lainnya, ketika dilahirkan manusia baru (newborn body) merupakan makhluk yang
tidak berdaya, dan amat sangat tergantung (dependence)
pada pengasuhnya dalam hal ini pada ibunya. Menurut Neuman (1990) hubungan
ibu-anak bahkan sudah dimulai sejak dalam kandungan (intra-uterine) yakni pada
masa uroboric dimana terjadi kesatuan (unity)
antara diri (the self), ego dan
kebenaran (ruh Tuhan, the light). Pada masa uroboric ini hingga individu berusia
20-22 bulan merupakan masa penting hubungan ibu-anak dan pembentukan diri
individu, yang disebut Neuman sebagai primal relationship.
BAB 5
PENDIDIKAN NILAI SEBAGAI PENDIDIKAN
KARAKTER
1. FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN ANAK
Elizabeth Hurlock (1993), menjelaskan bahwa perkembangan
ank depengaruhi oleh sekurang-kurangnya enam kondisi lingkungannya yaitu:
hubungan antar pribadi yang menyenangkan, keadaan emosi, metode pengasuhan
anak, peran dini yang diberikan kepada anak, struktur keluarga di masa
kanak-kanak dan rangsangan terhadap lingkungan sekitarnya.
Enam faktor inilah yang menurut Ratna Megawangi menjadi
titik pijak pembentukan karakter yang baik. Akar kata “karakter” dapat dilacak
dari kata Latin “kharakter”, “kharassein”, dan “kharax”, yang maknanya “tools for marking”, “to engrave”, dan
“pointed stake”. Kata ini mulai banyak digunakan (kembali) dalam bahasa
Prancis “caractere” pada abad ke-14
dan kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi “character” , sebelum akhirnya menjadi bahasa Indonesia “karakter”.
Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai
tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang mebedakan
seseorang daripada yang lain.
2. PENDIDIKAN
KARAKTER
Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang
terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang
dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasikan
seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen
yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi
diukur.
3. EMPAT
KARAKTER
Menurut
Foerster ada empat cirri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur
berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normative setiap tindakan.
Kedua, koherensi yang memberi keberanian,
membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi
baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya
satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
Ketiga, otonomi. Di situ seseorang
menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi.
Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau
desekan serta tekanan dari pihak lain.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan
merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan
kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
a. Pendidikan Nilai dalam Pendidikan
Karakter
b. Elemen dan Pendekatan Pendidikan
Karakter
BAB VI
PENDIDIKAN NILAI SEBAGAI PENCERDASAN
EMOTIONAL QUESTION (EQ) DAN SPIRITUAL QUESTION (SQ)
1. DELAPAN
KECERDASAN DI LUAR IQ MENURUT GARDNER
A.
Spasial-Visual
Berpikir
dalam citra gambar. Melibatkan kemampuan untuk memahami hubungan ruang dan
citra mental dan secara akurat mengerti dunia visual.
B.
Linguistik-Verbal
Berpikir
dalm kata-kata. Mencakup kemahiran berbahasa untuk berbicara, menulis, membaca,
menghubungkan, dan menafsirkan.
C.
Interpersonal
Berpikir
lewat komunikasi dengan orang lain. Ini mengacu kepada keterampilan manusia,
dapat dengan mudah membaca situasi, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan
orang lain.
D.
Musikal-Ritmik
Berpikir
dalam irama dan melodi.
E.
Naturalis
Berpikir
dalam acuan alam. Merupakan klasifikasi Garder mengenai pemetaan kecerdasan
dari beberapa konsep multidimensi kecerdasan atau kecerdasan berganda.
F.
Badan-Kinestik
Berpikir
melalui sensasi dan gerakan fisik. Merupakan kemampuan untuk mengendalikan dan
menggunakan fisik dengan mudah dan cekatan.
G.
Intrapersonal
Berpikir
secara reflektif. Ini mengacu pada kesadaran reflektif mengenai perasaan dan
proses pemikiran diri sendiri.
H.
Logis-Matematis
Berpikir
dengan penalaran. Melibatkan pemecahan masalah secara logis dan ilmiah dan
kemampuan matematis.
2. KECERDASAN
EMOSIONAL
a.
Komponen-Komponen
Kecerdasan Emosional
(1) Mengenali Emosi Sendiri
(2) Mengatur Emosi
(3) Memotivasi Diri
b.
Mengenali
Emosi Orang Lain
c.
Membina
hubungan dengan orang lain
BAB VII
PENDIDIKAN NILAI DALAM BINGKAI CERITA
DAN KISAH
1. KEDAHSYATAN
CINTA
Tidak
banyak yang tahu bahwa seorang Alexander yang agung, itu dulunya seorang yang
lemah dan tidak bisa bermain pedang, lalu pertanyannya adalah: Apa yang membuat
dia berubah sehingga menjadi “kapal induk” bagi kekuatan negaranya dalam
menaklukan Negara lain. Jawabannya adalah cerita dan kisah.
Alexander
memperoleh akses pembentukan karakter heroismenya dari kisah-kisah yang ditulis
oleh Homer lewat tokoh rekaan yang bernama Achilles. Tokoh rekaan inilah yang
menghantarkan seorang Alexander menjadi “The Great” (sang pembesar).
Yang
menarik adalah apa yang diserap oleh Alexander bukan semata-semata agar jago
main pedang. Homer mengisahkan karakter Achilles bukan hanya sebagai jagoan
yang sukar dicari tandingannya. Terdapat nilai-nilai budi pekerti yang ada di
dalam diri Achilles sehingga karakternya tidak rapuh atau bagai preman.
Pengenalan
kisah-kisah yang baik terhadap anak didik sebenarnya sudah sangat dikenal, baik
oleh orang tua maupun kelangan pendidik. Akan tetapi dalam kenyataannya, masih
saja ada bolong-bolong atau bahkan terdapat keteledoran.
Padahal,
bagaimanapun pembentukan karakter melalui tokoh-tokoh yang baik sangatlah
penting. Dalam hal ini peran pendidikan sastra – yang masih harus terus
ditingkatkan di sekolah – tak bisa ditinggalkan. Penawaran bacaan oleh
pendidikan sastra di sekolah seharusnya bisa mengimbangi kekurangan dan
keteledoran yang terdapat di dalam tayangan-tayangan televisi.
0 komentar:
Posting Komentar